Pertemuan yang Tak Disangka
Sore itu langit Jakarta seperti kanvas jingga. Matahari perlahan turun, memantulkan warna emas di gedung-gedung tinggi. Di antara keramaian pusat kota, Dewi menunggu bus di halte Sudirman dengan buku novel tebal di tangan. Ia baru pulang dari kantor desain grafis tempatnya bekerja, masih mengenakan kemeja putih dengan sisa aroma kopi yang tadi siang menemaninya.
Ketika angin petang berhembus, rambut panjang Dewi tersibak. Dari sudut mata ia melihat seorang pria berjas abu-abu berdiri beberapa langkah di sebelahnya. Andi, pikirnya kaget. Lelaki yang pernah menjadi sahabat dekat di masa SMA itu kini berdiri hanya sejauh genggaman tangan.
“Andi?” Dewi hampir tidak percaya. “Benarkah itu kamu?”
Pria itu menoleh dan tersenyum lebar, senyum yang tak berubah sejak mereka terakhir bertemu delapan tahun silam. “Dewi… aku nggak nyangka bisa ketemu kamu di sini!”
Hati Dewi berdesir. Semua kenangan masa remaja—belajar kelompok, tawa di kantin, dan perpisahan yang tergesa—muncul seketika.
Kenangan yang Kembali Mekar
Bus datang, tapi Andi menahan langkah. “Kamu buru-buru pulang?”
“Belum, aku masih ada waktu,” jawab Dewi. Mereka memutuskan berjalan kaki ke taman kota yang tak jauh dari situ. Pepohonan kenanga di taman sedang bermekaran, menebarkan wangi lembut yang mengingatkan Dewi pada halaman rumah neneknya di kampung.
“Aku pindah ke Jakarta tiga bulan lalu,” cerita Andi. “Sekarang kerja di kantor konsultan keuangan dekat sini.”
Dewi menatapnya takjub. “Hebat, ya. Dulu kamu memang jago matematika.”
Andi tertawa. “Dan kamu masih suka menggambar?”
Dewi mengangguk. “Sekarang jadi desainer grafis. Masih berjuang dengan deadline, tapi aku senang.”
Percakapan mereka mengalir tanpa canggung. Setiap tawa dan jeda terasa seperti melanjutkan kalimat yang terhenti bertahun-tahun lalu. Senja berganti malam, lampu-lampu taman menyala, menambah hangat suasana.
Malam Hujan yang Mengungkap Rasa
Beberapa hari kemudian, Andi mengirim pesan mengajak Dewi bertemu di kafe tepi sungai. Malam itu hujan turun deras, membentuk aliran di jendela kaca. Suara rintik hujan menjadi latar percakapan mereka.
“Aku suka hujan,” kata Dewi sambil menatap air yang menari di jalan.
“Aku juga,” balas Andi. “Hujan itu jeda. Mengingatkan kita untuk berhenti sejenak.”
Hening sejenak. Hanya denting sendok dan aroma kopi yang menemani.
“Dewi…” Andi menatapnya serius. “Boleh aku jujur? Sejak SMA aku selalu punya rasa buat kamu. Tapi waktu itu kita berpisah sebelum aku sempat bilang. Sampai sekarang, perasaan itu nggak pernah benar-benar hilang.”
Dewi terdiam. Jantungnya berdegup cepat. Kenangan lama berkelebat: saat Andi diam-diam menaruh es teh di mejanya, tatapan mata yang sering ia hindari.
“Aku juga,” bisik Dewi akhirnya. “Aku kira itu cuma perasaan anak sekolah yang bakal hilang. Ternyata tidak.”
Andi tersenyum lega. “Berarti… kita punya kesempatan kedua.”
Malam itu hujan berhenti perlahan, seolah memberi restu pada pengakuan mereka.
Perjalanan Bersama yang Penuh Warna
Hari-hari berikutnya menjadi babak baru. Mereka menghabiskan akhir pekan menjelajahi sudut-sudut Jakarta: dari museum tua di Kota Tua hingga warung kopi kecil di Kemang. Dewi menemukan sosok Andi yang dewasa dan tetap hangat, sementara Andi kagum pada semangat Dewi mengejar mimpi desainnya.
Suatu sore di Ancol, mereka duduk di dermaga memandang laut. Matahari tenggelam memantulkan warna oranye keemasan.
“Kadang aku masih nggak percaya kita dipertemukan lagi,” ujar Dewi.
“Aku percaya,” balas Andi. “Mungkin semesta tahu kita belum selesai.”
Dewi tersenyum, merasakan angin laut yang membawa aroma asin. Di sampingnya, Andi meraih tangannya. Genggaman itu hangat, membuatnya yakin bahwa pertemuan ini bukan kebetulan.
Ujian yang Menyatukan
Namun tak semua berjalan mulus. Suatu hari, Dewi mendapat tawaran proyek besar di Bandung yang mengharuskannya tinggal di sana selama tiga bulan. Di sisi lain, Andi tengah mempersiapkan presentasi penting yang menuntut fokus penuh.
“Aku takut jarak akan mengubah semuanya,” kata Dewi di telepon malam sebelum keberangkatannya.
Andi terdiam sejenak. “Justru di sinilah kita diuji. Kalau ini cinta, jarak cuma angka.”
Dewi menahan haru. “Kamu yakin kita bisa?”
“Aku yakin,” jawab Andi mantap. “Karena sejak dulu, bahkan ketika kita delapan tahun berpisah, perasaan itu tetap ada. Apalagi sekarang.”
Tiga bulan terasa panjang. Namun panggilan video, pesan singkat, dan kiriman foto-foto kecil dari keseharian mereka membuat jarak seolah menyempit. Andi kerap mengirim foto kenanga yang tumbuh di taman kota, seolah mengingatkan bahwa wangi kenangan mereka tetap mekar.
Kembali ke Jakarta: Janji di Bawah Kenanga
Hari terakhir proyek, Dewi kembali ke Jakarta. Senja di taman kota menyambutnya dengan wangi kenanga yang sama seperti malam pertama mereka bertemu kembali. Andi menunggunya di bawah pohon kenanga terbesar, kemeja biru muda yang familiar.
“Aku kangen,” kata Andi begitu Dewi mendekat.
Dewi tersenyum, matanya berkaca-kaca. “Aku juga.”
Andi mengeluarkan sebuah buku catatan bersampul kenanga. “Buat kamu. Biar semua ide dan mimpi bisa kamu tulis di sini. Kenanga ini… simbol kita. Wangi yang tetap bertahan meski waktu berjalan.”
Dewi memeluk buku itu, merasakan hangatnya makna di balik hadiah sederhana.
Andi meraih tangannya dan menatapnya dalam. “Dewi, mari kita tulis kisah kita selanjutnya. Bukan lagi di halaman yang terpisah, tapi di buku yang sama.”
Di bawah pohon kenanga, mereka berdua terdiam. Senja perlahan meredup, meninggalkan cahaya emas terakhir. Tanpa perlu kata-kata besar, genggaman tangan mereka sudah menjadi janji—janji bahwa cinta yang sempat tertunda kini akan terus bertumbuh.
Epilog: Cinta yang Menemukan Waktu
Beberapa tahun kemudian, ketika kenanga kembali bermekaran, Dewi dan Andi sering berjalan di taman kota itu sambil mengenang awal cerita. Mereka percaya bahwa cinta tak selalu datang di waktu yang kita mau, tapi selalu tiba tepat ketika hati sudah siap.
Di setiap helai kelopak kenanga, tersimpan perjalanan mereka—dari pertemuan tak sengaja, pengakuan di malam hujan, hingga janji yang lahir dari keteguhan hati.
Dewi menatap Andi dan berbisik, “Terima kasih sudah menunggu delapan tahun.”
Andi tersenyum sambil menggenggam erat tangannya. “Terima kasih sudah kembali.”
Wangi kenanga pun mengiringi langkah mereka, menjadi saksi cinta yang akhirnya menemukan rumahnya.


Comments
Post a Comment